Sejarah Terbentuknya Teori Psikoanalisa
Salah satu aliran utama dalam sejarah psikologi adalah teori
psikoanalitik Sigmund Freud. Psikoanalisis adalh sebuah model
perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia, dan metode
psikoterapi. Secara historis psikoanalisis adalah aliran pertama dari
tiga aliran utama psikologi. Yang kedua behaviorisme, sedangkan yang
ketiga adalah psikologi eksistensial humanistik.
Menurut Corey (2005), sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah dari teori-teori dan praktek psikoanalitik mencakup :
- Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman
terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaan penderitaan
manusia.
- Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar.
- Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian dimasa dewasa.
- Teori psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga
untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi
kecemasan dengan mengandalkan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja
untuk menghindari luapan kecemasan.
- Pendekatan psikoanalitik telah memberikan cara-cara mencari
keterangan dari ketaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi,
resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi.
Menurut pendangan psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari
tiga sistem atau aspek, yaitu: Id (Das Es), Ego (Das Ich), dan Super Ego
(Das Ueber Ich).
Id (Das Es)
Menurut Suryabrata (2005) aspek ini adalah aspek biologis dan
merupakan sistem yang original di dalam kepribadian. Dari aspek inilah
kedua aspek yang lain tumbuh. Freud menyebutnya juga realitas psikis
yang sebenar-benarnya, oleh karena itu Das Es itu merupakan dunia batin
atau subyektif manusia, dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan
dunia obyektif. Das Es berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir
(unsur-unsur biologis), termasuk insting-insting. Das Es merupakan
“reservoir†energi psikis yang menggerakkan Das Ich dan Das Ueber
Ich.
Dengan diatur oleh asas kesenangan yang diarahkan pada pengurangan
tegangan, penghindaran kesakitan, dan perolehan kesenangan, Id bersifat
tidak logis, amoral, dan didorong oleh satu kepentingan: memuaskan
kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan. Id tidak
pernah matang dan selalu menjadi anak manja dari kepribadian, tidak
berpikir, dan hanya menginginkan atau bertindak serta Id bertindak
dengan tidak sadar (Corey, 2005).
Ego (Das Ich)
Menurut Suryabrata (2005) aspek ini adalah aspek psikologis daripada
kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan
secara baik dengan dunia kenyataan (realita). Orang yang lapar mesti
perlu makan untuk menghilangkan tegangan yang ada dalam dirinya. Ini
berarti bahwa organisme harus dapat membedakan antara khayalan tentang
makanan dan kenyataan tentang makanan. Disinilah letak perbedaan yang
pokok antara Das Es (Id) dan Das Ich (Ego), yaitu kalau Das Es itu hanya
mengenal dunia subyektif (dunia batin), maka Das Ich dapat membedakan
sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar
(dunia obyektif, dunia realitas).\
Superego (Das Ueber Ich)
Menurut Suryabrata (2005) aspek sosiologi kepribadian, merupakan
wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat
sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan
(diajarkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Das Ueber Ich lebih
merupakan kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich
dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.
Superego berfungsi menghambat impuls-impuls Id. Kemudian, sebagai
internalisasi standar-standar orang tua dan masyarakat, superego
berkaitan dengan imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya
adalah perasaan bangga dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya
adalah perasaan-perasaan berdosa dan rendah diri (Corey, 2005)
Mekanisme Pertahanan Ego
Di bawah tekanan kecemasan yang berlebihan, ego kadang-kadang
terpaksa menempuh cara-cara ekstrem untuk menghilangkan tekanan.
Cara-cara itu disebut dengan mekanisme pertahanan.
Penyangkalan
Penyangkalan adalah pertahanan melawan kecemasan dengan “ menutup
mata “ terhadap keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu menolak
sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan. Kecemasan atas
kematian orang yang dicintai, misalnya sering dimanifestasikan oleh
fakta penyangkalan terhadap kematian.
Represi
Represi adalah melupakan isi kesadaran yang traumatis atau bisa
membangkitkan kecemasan, mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima
kepada ketaksadaran, atau bisa menjadi tidak menyadari hal-hal yang
menyakitkan.
Proyeksi
Proyeksi adalah mengalamatkan sifat sifat tertentu yang tidak bisa
diterima oleh ego kepada orang lain. Seorang melihat pada diri orang
lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tidak bisa menerima adanya
hal-hal itu pada diri sendiri. Jadi, proyeksi, seorang akan mengutuk
orang lain karena “kejahatannyaâ€dan menyangkal memiliki dorongan
jahat seperti itu. Untuk menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di
dalam dirinya terdapat dorongan yang dianggap jahat, ia memisahkan diri
dari kenyataan ini.
Formasi reaksi (pembentukan)
Formasi reaksi adalah melakukan tindakan yang berlawanan dengan
hasrat-hasrat tak sadar. Jika perasaan yang lebih dalam menimbulkan
ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan guna
menyangkal perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman itu.
Contohnya, seorang ibu yang memiliki perasaan menolak terhadap anaknya,
karena adanya perasaan berdosa, ia menampilkan tingkah laku yang sangat
berlawanan, yakni terlalu melindungi atau “terlalu
mencintai†anaknya. Orang yang menunjukkan sikap menyenangkan yang
berlebihan atau terlalu baik boleh jadi berusaha menutupi kebencian dan
perasaan-perasaan negatifnya.
Fiksasi
Fiksasi maksudnya adalah menjadi “terpaku†pada tahap-tahap
perkembangan yang lebih awal karena mengambil langkah ke tahap
selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan. Anak yang terlalu bergantung
menunjukkan pertahanan berupa fiksasi.
Regresi
Regresi adalah melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal
yang tuntutan-tuntutannya tidak terlalu besar. Contohnya seorang anak
yang takut sekolah memperlihatkan tingkah laku infantil seperti
menangis, mengisap ibu jari, bersembunyi, dan menggantungkan diri pada
guru. Atau, ketika adiknya lahir, seorang anak kembali menunjukkan
bentuk-bentuk tingkah laku yang kurang matang.
Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah menciptakan alasan-alasan yang baik guna
menghindarkan ego dari cedera; memalasukan diri sehingga kenyataan yang
mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan. Orang yang tidak
memperoleh kedudukanyang sesungguhnya diinginkannya. Atau, seorang
pemuda yang ditinggalkan kekasihnya, guna menyembuhkan ego-nya yang
terluka ia menghibur diri bahwa si gadis tidak berharga dan bahwa
dirinya memang akan menendangnya.
Sublimasi
Sublimasi adalah menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang
secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya. Contohnya
dorongan dorongan agresif yang ada pada seseorang disalurkan ke dalam
aktivitas bersaing di bidang olahraga sehingga dia menemukan jalan bagi
pengungkapan perasaan agresifnya, dan sebagai tambahan dia bisa
memperoleh imbalan apabila berprestasi dibidang olahraga itu.
Displacement
Displacement adalah mengarahkan energi kepada objek atau orang lain
apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau.
Seseorang anak yang ingin menendang orang tuanya kemudian menendang
adiknya, atau jika adiknya tidak ada, menendang kucing.
Tapi, Pertahanan yang pokok adalah represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi, dan regresi (Supratiknya, 1993).
Tujuan-tujuan Terapeutik
Tujuan terapi psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur
karakter individual dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari di
dalam diri klien. Proses terapeutik difokuskan pada upaya mengalami
kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman
masa lampau di rekonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan
sasaran merekonstruksi kepribadian. Terapi psikoanalitik menekankan
dimensi afektif dari upaya menjadikan ketaksadaran diketahui. Pemahaman
dan pengertian intelektual memiliki arti penting tetapi
perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yang berkaitan dengan pemahaman
diri lebih penting lagi (Corey, 2005).
Fungsi dan Peran Terapis
Karakteristik psikoanalisis adalah terapis atau analis membiarkan
dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman
sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada analis. Proyeksi-proyeksi
klien yang menjadi bahan terapi, ditafsirkan dan dianalisis. Analis
terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam mencapai kesadaran
diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal, dalam
menangani kecemasan secara realistis, serta dalam memperoleh kendali
atas tingkah laku yang impulsif dan irasional. Fungsi utama analis
adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien
mampu memperoleh pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri,
mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara berubah (Corey, 2005).
Hubungan antara Terapis dan Klien
Hubungan klien dengan analis dikonseptualkan dalam proses
transferensi yang menjadi inti pendekatan psikoanalitik. Transferensi
mendorong klien untuk mengalamakan pada analis urusan yang tak selesai,
yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan orang yang
berpengaruh. Proses pemberian treatment mencakup rekonstruksi klien dan
menghidupkan kembali pengalaman- pengalaman masa lampaunya. Transferensi
terjadi pada saat klien membangkitkan kembali konfik-konflik masa
dininya yang menyagkut cinta, seksual, kebencian, kecemasan, dan
dendamnya, membawa konflik-konflik itu ke saat sekarang, mengalaminya
kembali, dan menyangkutkannya pada analis.
Jika terapi diinginkan memiliki pengaruh menyembuhkan, maka hubungan
transferensi harus digarap. Proses penggarapan melibatkan eksplorasi
oleh klien atas kesejajaran-kesejajaran antara pengalaman masa lampau
dan pengalaman masa kininya. Kloien memiliki banyak kesempatan untuk
melihat cara-cara dirinya mengejawatahkan konflik-konflik inti dan
pertahan-pertahanan intinya dalam kehidupan sehari-hari. Karena dimensi
utama dari proses penggarapan itu adalah hubungan transferensi, yang
membutuhkan waktu untuk membangunnya serta membutuhkan tambahan waktu
untuk memahami dan melarutkannya, maka penggarapannya memerlukan jangka
waktu yang panjang bagi keseluruhan proses terapeutik.
Jika analis mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras yang
berasal dari konflik-konfliknya sendiri, maka akan terjadi
kontratransferensi. Kontratransferensi ini bisa terdiri dari perasaan
tidak suka atau keterikatan dan keterlibatan yang berlebihan.
Kontratransferensi dapat mengganggu kemajuan terapi karena reaksi-reaksi
dan masalah- masalah klien. Analis diharapkan agar relatif objektif
dalam menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan peraaan-perasaan
lainnya yang kuat dari klien.sebagian besar program latihan
psikoanalitik mewajibkan calon analis untuk menjalani analis yang
intensif sebagai klien. Analis dianggap telah berkembang mencapai taraf
dimana konflik-konflik utamanya sendiri terselesaikan, dan karena dia
mampu memisahkan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahnya sendiri dari
situasi terapi. Jika analis tidak mampu mengatasi kontratransferensi,
maka dianjurkan agar kembali menjalankan analis pribadi.
Sebagai hasil hubungan hasil terapeutik, khususnya penggarapan
situasi transferensi, klien memperoleh pemahaman terhadap
psikodinamika-psikodinamika tak sadarnya. Kesadaran dan pemahaman atas
bahan yang direpresi merupakan landasan bagi proses pertumbuhan
analitik. Klien mampu memahami asosiasi antara pengalaman-pengalaman
masa lampaunya dengan kehidupan sekarang. Pendekatan psikoanalitik
berasumsi bahwa kesadaran diri ini bisa secara otomatis mengarah pada
perubahan kondisi klien.
Penerapan Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
Lima teknik dasar terapi psikoanalitik adalah: asosiasi bebas,
penafsiran, analisis mimpi atas resistensi, dan analisis atas
transferensi.
1) Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang
berkaitan dengan situasi traumatik di masa lampau yang dikenal dengan
sebutan katarsis. Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis
adalah mengenali bahan yang direpres dan dikurung di dalam
ketaksadaran. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh
klien terhadap asosiasi-asosiasi merupakan isyarat bagi adanya bahan
yang membangkitkan kecemasan. Analis menafsirkan bahan itu dan
menyampaikannya kepada klien, membimbing klien ke arah peningkatan
pemahaman atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak disadari
oleh klien.
2) Penafsiran
Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis
asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan
transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan
analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien makna-makna
tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi bebas,
resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi
penafsiran-penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi
bahan-bahan baru dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar
lebih lanjut. Dengan perkataan lain, analis harus bisa menafsirkan bahan
yang belum terlihat oleh klien, tetapi yang oleh klien bisa diterima
dan diwujudkan sebagai miliknya.
3) Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyingkap
bahan yang tak disadari dan memberikan kepada klien pemahaman atas
beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Freud memandang
mimpi-mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketaksadaran, sebab melalui
mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan
ketakutan-ketakutan yang tak disadari diungkap.
Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi, yaitu laten dan isi manifes. Isi
laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik
dan tak disadari. Karena begitu mengancam dan menyakitkan,
dorongan-dorongan seksual dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten
ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yakni
impian sebagaimana yang tampil pada si pemimpi. Proses transformasi is
laten mimpi ke dalam isi manifes yang kurang mengancam itu disebut kerja
mimpi. Tugas analis adalah menyingkap makna-makna yang disamarkan
dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat pada isi manifes mimpi,
selama jam analitik, analis bisa meminta klien untuk mengasosiasikan
secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian guna menyingkap
makna-makna yang terselubung.
4) Analisis dan Penafsiran Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan
mencegah klien mengemukakan bahan yang tak disadari. Freud memandang
resistensi sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai
pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan
meningkat jika klien sadar atas dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan
depresi itu. Resistensi ditunjukkan untuk mencegah bahan yang mengancam
memasuki ke kesadaran, analis harus menunjukannya, dan klien harus
menghadapinya jika dia mengharapkan bisa menangani konflik-konflik
secara realistis.
Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi.
Karena merupakan perwujudan dari pendekatan-pendekatan defensif klien
yang biasa dalam kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus
dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat
kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.
5) Analisis dan Penafsiran Transferensi
Transferensi mengejawantahkan dirinya dalam proses terapeutik ketika
urusan yang tak selesai di masa lampau klien dengan orang-orang yang
berpengaruh menyebabkan dia mendistorsi masa sekarang dan bereaksi
terhadap analis sebagaimana dia bereaksi terhadap ibu atau ayahnya.
Analisis transferensi adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis,
sebab mendorong klien untuk menghidupkan kembali masa lampaunya dalam
terapi. Penafsiran hubungan transferensi juga memungkinkan klien mampu
menembus: konflik-konflik masa lampau yang tetap dipertahankannya hingga
sekarang dan yang menghambat pertumbungan emosionalnya. Singkatnya
efek-efek psikopatologis dari hubungan masadini yang tidak diinginkan,
dihambat oleh penggarapan atas konflik emosional yang sama yang terdapat
dalam hubungan terapeutik dengan analis.
Contoh kasus :
Contoh kasus 1
klien pernah mengalami trauma diperkosa oleh pamannya sehingga sangat
membenci pamannya dan berusaha melupakannya. Terapis mencoba menggali
informasi dengan membuat klien mengingatnya sehingga memancing emosi
klien maka klien diberikan katarsis (pelampiasan) yaitu sebuah ruangan
dimana klien dapat mengekspresikan kemarahannya seperti berteriak
sekeras-kerasnya didalam ruangan katarsis atau meninju boneka.
Ini merupakan contoh kasus dari asosiasi bebas dimana klien dibiarkan
untuk memunculkan ketidaksadarannya. Hal ini juga berkaitan dengan
proses katarsis.
Anonim. (2009).
PSIKOTERAPI. (
http://psychologygroups.blogspot.com/2009/03/psikoterapi.html). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 2
Kasus yang kedua adalah tentang fobia. Semua penanganan psikoanalisis
terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang
diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik penghindaran
dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai simtom dari
konflik-konflik yang ada di baliknya, fobia biasanya tidak secara
langsung ditangani. Memang, upaya langsung untuk mengurangi penghindaran
fobik dikontraindikasikan karena fobia diasumsikan melindungi orang
yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu
menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasi analis menggunakan berbagai teknik yang
dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu mengangkat
represi. Dalam asosiasi bebas analis mendengarkan dengan penuh perhatian
apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai
fobia. Analis juga berupaya menemukan berbagai petunjuk terhadap
penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas. Apa yang
diyakini analis mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada
teori psikoanalisis tertentu yang dianutnya. Seorang analis ortodoks
akan mencari konflik-konflik yang berkaitan dengan seks arau agresi,
sedangkan analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan
mendorong pasien untuk mempelajari generalisasi ketakutannya terhadap
orang lain.
Anonim. (2011).
Fobia. (
http://phobia-disorder.blogspot.com/p/prevensi.html). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 3
Saya memiliki teman dekat dimana dari kecil dia adalah anak yang
penakut akan hal-hal gaib. Sehingga, semasa kecil dia selalu takut untuk
menonton film seram. Ditambah lagi mendengar cerita seram dari
orang-orang terdekatnya. Namun hal itu tetap dia lakukan. Sampai-sampai
dia pernah terbawa mimpi akibat menonton film seram yang menyebabkan dia
ngompol karena rasa takut yang dia rasakan. Disamping itu, dia juga
termasuk anak yang sangat aktif dalam melakukan suatu aktivitas. Setiap
pulang sekolah dia bermain bersama teman-teman. Namun, hal itu membuat
ayahnya marah. Karena setiap pulang sekolah dia suka bermain, yang
seharusnya tidur siang. Sehingga keniginan untuk bermain sering
tertunda. Jika ayahnya tidak dirumah dia suka bermain. Begitu pula
sebaliknya, jika beliau ada dirumah pastinya dia tidak boleh keluar dan
disuruh tidur siang. Itu adalah kasus yang teman saya alami dari umur 6-
10 tahun. Sehingga, pada tahun-tahun tersebut perkembangan kepribadian
teman saya mengalami gangguan yang menyebabkan dirinya berperilaku sama
pada tahun sebelumnya (terjadi regresi).
pembahasan :
Kasus yang teman saya alami adalah mengompol sewaktu berusia 6-10
tahun akibat rasa takut akan hal-hal gaib dan tertundanya melakukan
aktivitas yang aktif seperti bermain hingga terbawa mimpi. Kasus
tersebut saya hubungkan dengan teori psikanalisis oleh Sigmund Freud
khususnya mengenai analisis mimpi. Freuds bekerja sangat dipengaruhi
orang-orang ahli analisis mimpi. Bukunya The Interpretation of Dream
(Die Traumdeutung) pertama kali diterbitkan tahun 1899. Di sini, ia
menjelaskan bahwa mimpi sering dikaitkan dengan keinginan-pemenuhan.
Dia menjelaskan bahwa analisis mimpi perlu dikaitkan dengan peristiwa
yang terjadi pada pemimpi dalam kehidupan nyata. Terutama untuk
peristiwa yang terjadi pada hari sebelumnya. Sebagian besar mencerminkan
interpretasi mimpinya ketakutan, keinginan dan emosi yang ada dalam
pikiran bawah sadar kita. Bahkan mimpi negatif dapat ditafsirkan sebagai
peristiwa yang pemimpi berharap tidak akan terjadi. Hal ini terjadi
pada teman saya, karena setiap menonton dan mendengar hal-hal yang gaib
membuat dirinya ketakutan hingga terbawa ke dalam mimpi dan mengompol
yang tidak dia harap akan terjadi.
Definisi Mimpi Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi
bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau
yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan
dalam keadaan terjaga. Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi
sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu
yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah,
selip bicara (keprucut), maupun lelucon.
Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk
pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin
S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang
secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan
dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di
alam nyata sulit bagi kita untuk mengungkapkan kekesalan, keresahan,
kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi
sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk
mimpi. (tertundanya pemenuhan keinginan teman saya untuk bermain bersama
teman-teman).
Analisis Mimpi, digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi
merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar,
pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas
emosi lain, hingga aktivitas emosi yang sama sekali tidak disadari.
Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan
bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan,
kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh
seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah
berhasil diungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah
untuk diselesaikan.
Intan. (2009).
Analisis Mimpi. (
http://intanpsikologi.wordpress.com/2009/12/10/analisis-mimpi-sigmund-freud/). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 4
Klien seorang perempuan, 26 tahun dengan gangguan skizofrenia
paranoid dan diterapi menggunakan pendekatan psikoanalisis dan teknik
yang digunakan adalah teknik asosiasi bebas.
Pada sesi ini terapis dan klien membangun komunikasi yang nyaman dan
membangun kepercayaan. Setelah terbentuknya rasa kepercayaan dan
dukungan yang lebih besar, terapis mulai mendorong klien untuk mengkaji
berbagai hubungan Interpersonalnya. Kemudian klien diminta untuk
mengungkapkan apa saja (pikiran dan perasaan) yang terlintas dalam
pikirannya saat itu tanpa ada hal-hal yang disensor (moment catarsis).
Dan terapis membantu klien untuk menganalisa mengenai hal-hal yang
dikatarsiskan. Setelah itu terapis membantu dan membimbing klien untuk
bisa insigth. Setelah itu terus menerus menginterpretasikan dan
mengidentifikasikan masalah klien. Kemudian berusaha mengajak klien
merealisasikan hal-hal yang didapat dari insigth.
Pada sesi II yaitu teknik asosiasi bebas. Pada sesi ini Klien diminta
untuk mengungkapkan apa saja (pikiran dan perasaan) yang terlintas
dalam pikirannya saat ini tanpa ada hal yang disensor (katarsis). Terapi
membantu klien menganalisa mengenai hal-hal yang dikatarsiskan,
kemudian terapis membimbing klien untuk insight, dengan terus-menerus
menginterpretasi dan mengidentifikasi masalah klien dan mkemudian
mengajak klien merealisasikan hal yang didapatkan dari insight.
Sumber:
Corey, Gerald. (2005).
Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI. Bandung: PT Refika Aditama.
Hall, Calvin., & Gardner Lindzey. (1993).
Teori-Teori Psikodinamik (klinis), (Penerjemah: A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.
Selvera, Nidya Rizky. (2013). Teknik asosiasi bebas dan psikoedukasi untuk mengenali gejala penderita skizofrenia paranoid.
Jurnal Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Volume 1.
Suryabrata, S. (2005).
Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.